Jumat, 20 Mei 2011

KEBUTUHAN GIZI BALITA






Usia dibawah 5 tahun atau balita merupakan usia penting dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik anak. Pada usia ini, anak masih rawan dengan berbagai gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Secara psikologis, rentang usia ini sangat menentukan karakter anak. Jika anak sering diejek atau dicemooh, kemungkinan besar akan tumbuh menjadi anak yang tidak mempunyai kepercayaan diri. Anak yang selalu dimanja akan tumbuh menjadi anak yang selalu bergantung kepada orang lain. Demikian juga anak yang selalu ditekan dengan ancaman, anak akan tumbuh dengan ketakutan bahkan sampai depresi. Sebaliknya, anak yang dididik dengan pujian dan arahan yang benar, akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri karena sejak kecil dia merasa dihargai oleh lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga.
Demikian pula dengan cara orang tua memberi makan kepada anak. Jika dengan paksaan, anak semakin tidak menyukai makanan tersebut dan cenderung semakin menolak. Selain itu, jika melarang makanan tertentu yang tidak baik seperti permen tetapi tidak diikuti dengan memberi pemahaman jelas, juga akan menimbulkan rasa untuk memberontak. Pemberontakan tersebut biasanya diwujudkan dengan semakin menyukai makanan tersebut, dan dengan sembunyi-sembunyi makan dalam jumlah yang banyak karena takut ketahuan.
Salah satu faktor yang menentukan daya tahan tubuh seorang anak adalah keadaan gizinya. Pertumbuhan anak pasa masa balita sangat pesat, sehingga membutuhkan zat gizi yang relatif lebih tinggi daripada orang dewasa. Disisi lain, alat pencernakan usia ini belum berkembang sempurna. Selain itu, anak balita sangat rentan terhadap penyakit gigi sehingga menyulitkan makannya. Gigi susu telah lengkap pada umur 2-2,5 tahun, tetapi belum dapat digunakan untuk mengerat dan mengunyah makanan yang keras. Karena itu, pengaturan makanan dan perencanaan menu harus hati-hati dan sesuai dengan kebutuhan kesehatannya.
Makanan yang tidak disukai anak juga tidak perlu dipaksakan. Namun, sayuran tetap dianjurkan untuk selalu diberikan meskipun si anak sering tidak menyukainya. Pemberian sayuran juga disiasati dengan cara dibuat jus yang dikombinasikan dengan buah-buahan sehingga rasanya lebih enak. Misalnya, sawi hijau bisa dikombinasikan dengan nanas yang sudah direbus. Anak usia balita belum dianjurkan diberi sayuran mentah karena enzim pencernaannya belum berkembang sempurna.
Rasa dan cara penyajian makanan sangat mempengaruhi kemauan anak untuk makan. Jika rasa jus tidak enak dan anak menolak, kita bisa membuat variasi jus lain yang lebih disukai anak. Namun, ada beberapa jenis buah berserat tinggi dan mengandung zat-zat berbahaya bagi saluran pencernakan balita yang sebaiknya tidak diberikan. Misalnya rambutan, manggis, nangka, sawo, dan durian.








TETANUS NEONATORUM

Tetanus Neonatorum


Penyakit tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonates (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang system saraf pusat.
Spora kuman masuk ke tubuh bayi melalui tali pusat yang terjadi pada saat pemotongan tali pusat ketika bayi lahir, maupun pada saat perawatannya sebelum puput (terlepasnya tali pusat) masa inkubasi 3-28 hari, rata-rata 6 hari. Apabila masa inkubasi kurang dari 7 hari, biasanya penyakit lebih parah dan angka kematiannya tinggi.

Factor resiko untuk terjadinya tetanus neonatorum :
  1. Pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak   lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.
  2. Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat-syarat “3 bersih”
  3. Perawatan tali pusat tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

Kekebalan terhadap hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. TT akan merangsang pembentukan antibody spesifik yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan tetanus. Ibu hamil yang mendapat TT didalam tubuhnya akan membentuk antibody tetanus seperti difteri, antibody tetanus termasuk dalam golongan IgG yang mudah melewati sawar placenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2x (2 dosis). Jarak pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat menentukan kadar antibody tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua dengan kelahiran bayi, maka kadar antibody tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan mempertinggi respon imunologi dan diperoleh cukup waktu untuk menyebarkan antibody tetanus dalam jumlah yang cukup dari tubuh ibu hamilketubuh bayinya.
Imunisasi TT opada kehamilan sedini mungkin akan memberikan cukup waktu antara dosis pertama dan dosis ke dua, serta antara dosis kedua dengan saat kehamilan. Interval imunisasi TT abis pertama dengan dosis kedua minimal 4 minggu.
TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk wanita hamil. Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT.
Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan risiko catat bawaan atau pun abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi.

Penilaian
Gejala klinik tetanus neonatorum antara lain sebagai berikut :
  • Bayi yang semula dalam menetek menjadi sulit menetek karena kejang otot rahang dan faring (tenggorokan)
  • Mulut bayi mencucu seperyi mulut ikan
  • Kejang terutamaapabila terkena rangsang cahaya suara dan sentuhan.
  • Kadang-kadang disertai sesak nafas dan wajah bayi membius.
  • Sering timbul komplikasi terutama bronkhopneumania, asfiksia dan sianosis akibat obstruksi jalan nafas oleh lendir/ secret dan sepsis.

Tetanus Neonatorum harus memenuhi criteria berikut :
  1. Bayi lahir, dapat menangis dan menetek dengan normal min 2x/hari.
  2. Pada bulan pertama kehidupan timbul gejala sulit menetek diserati kekakuan dan/ kejang otot.


Penanganan :
  1. Mengatasi kejang dengan memberikan suntikan anti kejang.
  2. Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan membersihkan jalan nafas. Pemasangan spatel lidah yang dibungkus kain untuk mencegah lidah tergigit.
  3. Mencarai tempat masuknya spora tetanus, umumnya ditali pusat/ ditelinga.
  4. Mengobati penyebab tetanus denag  anti tetanus serum (ATS) dan antibiotika.
  5. Perawatan yang adekuat kebutuhan oksigen, makanan, keseimbangan cairan dan elektrolit.
  6. Penderita/ bayi, ditempatkan di kamar yang terangdenga  sedikit sinar. Mengingat penderita sangat peka akan suara dan cahaya yang dapat merangsang kejang.


Bagan Penanganan Tetanus Neonatorum
Tanda tanda
Tiba-tiba bayi demam/ panas, mendadak bayi tidak mau/ tidak bias menetek (mulut tertutup/ trismus), mulut mencucu seperti ikan, mudah sekali kejang (misalnya dipegang, kena sianar/ kaget-kaget) disertai sianosis, kuduk kaku, posisi punggung melengkung, kepala mendangak ke atas (opistotonus)
Kategori Penilaian
Tetanus Neonatorus Sedang
Tetanus Neonatorum Berat
·  Umur bayi

·  Frekuensi kejang

·  Bentuk kejang


·  Posisi badan

·  Kesadaran

· Tanda-tanda infeksi
> 7 hari

Kadang- kadang


1.  Mulut mencucu
2.  Trisnus kadang-kadang
3.  Kejang rangsang (+)

Opistotonus kadang- kadang

Masih sadar

1.  Tali pusat kotor
2.  Lubang telinga bersih/ kotor
< 7 hari

Sering


1.  Mulut mencucu
2.  Trisnus terus menerus
3.  Kejang rangsang (+)

Selalu opistotonus

Masih sadar

1.  Tali pusat kotor
2.  Lubang telinga bersih/ kotor

Penanganan :
  1. Bersihkan jalan nafas
  2. Masukkan sendok/ spatel dibungkus kain untuk menekan lidah
  3. Beri oksigen
  4. Atasi kejang denagn :

1. Diazepam 0,5 mg/ kg/ i.m/ supositoria
2. Apabila masih kejang, ulangi tiap 30 menit
3. Ditambah luminal 30 mg i.m sampai kejang berhenti
  1. Infuse glukosa 10% sebanyak 80 ml/ kg/ hari
  2. Antibiotika 1x (penisilin prokain 50.000 u/ kg/ hari i.m)
  3. Bersihkan tali pusat
  4. Rujuk ke rumah sakit


Bila di Rumah Sakit :
  1. Umur lebih dari 24 jam ditambah bikar bonas Natrikus 1,5 %
  2. Dosis anti kejang IV dengan dosis rumat
  3. Diazepam 8-10 mg/ kg IV diganti tiap 6 jam
  4. Ais 10.000 u/ hari i.m
  5. Ampisilin 100 mg/ kg IV atau prokain penisilin 50.000 u/ kg i.m selama 3 hari
  6. Ruang perawatan tenang.

PENCEGAHAN HIV PADA IBU KE ANAK


Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif meliputi layanan pra persalinan, pasca persalinan serta kesehatan anak. 
Pelayanan kesehatan ibu dan anak bisa menjadi awal atau pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada saat ibu hamil dan suaminya datang ke klinik kesehatan ibu dan anak akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV diantara mereka, termasuk juga risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke bayi. Setelah menilai sendiri perilaku mereka, dengan kesadarannya sendiri mereka akan sukarela melakukan konseling dan tes HIV.
Berbagai bentuk layanan yang diberikan klinik kesehatan ibu dan anak (imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS, pemberian suplemen zat besi, dll)  juga meningkatkan status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil HIV positif.
Hendaknya klinik kesehatan ibu dan anak juga menjangkau dan melayani suami/pasangannya sehingga terdapat keterlibatan aktif para suami/pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
Pengalaman lapangan sebuah LSM di Jakarta menunjukkan bahwa program pencegahan penularan HIV dari ibu akan lebih berhasil dan diterima dengan baik oleh masyarakat jika diintegrasikan dengan kegiatan kesehatan ibu dan anak, karena tidak hanya bermanfaat bagi ibu-ibu hamil HIV positif, namun juga untuk semua ibu hamil yang datang ke sarana layanan kesehatan tersebut.

KONSELING DAN TES HIV SECARA SUKARELA
Satu-satunya cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Syarat dari pelaksanaan tes darah tersebut adalah bersifat sukarela, rahasia, terdapat adanya konseling sebelum dan sesudah tes, serta adanya persetujuan tertulis (informed consent). Kegiatan ini dikenal dalam bahasa Inggris dengan istilah voluntary counseling and testing atau disingkat VCT. Istilah singkatan VCT juga sudah sangat populer digunakan di Indonesia.
Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela merupakan salah satu komponen paling penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Melalui konseling dan tes HIV sukarela, akan diketahui perempuan dengan status HIV positif yang selanjutnya akan dilakukan upaya untuk menghindari ataupun mengurangi risiko tertularnya HIV dari perempuan tersebut ke bayi yang dikandungnya. Tanpa adanya layanan konseling dan tes HIV sukarela, perempuan tersebut tidak akan tahu bahwa dirinya telah terinfeksi HIV hingga dia jatuh sakit dengan tanda-tanda AIDS, ataupun hingga dia melahirkan bayi yang kemudian didiagnosis HIV positif. Tindakan intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi tidak dilakukan terhadapnya. Pemberian obat antiretroviral untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi, misalnya, hanya diberikan kepada perempuan yang diketahui statusnya HIV positif.
Hasil konseling dan tes HIV sukarela yang negatif sekalipun juga bisa berkontribusi dalam upaya mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi karena melalui proses konseling perempuan tersebut akan semakin paham tentang perilaku yang harus dijalaninya agar tetap berstatus HIV negatif.
Jika telah memenuhi persyaratan, layanan konseling dan tes HIV sukarela dijalankan di layanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan.
Layanan konseling dan tes HIV sukarela akan sangat baik jika diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana. Alasannya sebagai berikut:
Dengan menjadikan konseling dan tes HIV sukarela sebagai sebuah layanan rutin di kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana (ditawarkan kepada semua pengunjung) akan mengurangi stigma terhadap HIV/AIDS;
Layanan rutin konseling dan tes HIV sukarela di pelayanan kesehatan ibu dan anak akan menjangkau banyak ibu hamil;
Menjalankan konseling dan tes HIV sukarela di klinik kesehatan ibu dan anak akan mengintegrasikan program HIV/AIDS dengan layanan kesehatan lainnya, seperti pengobatan IMS dan infeksi lainnya, pemberian gizi, dan keluarga berencana.
Protokol tes darah yang biasa digunakan adalah teknik ELISA dengan menggunakan tiga jenis reagen yang berbeda. Cara ini membutuhkan sekitar satu minggu untuk mengetahui hasil tes. Untuk mendapatkan hasil tes yang lebih cepat dan mudah, lebih direkomendasikan untuk menggunakan tes cepat (rapid-test) daripada tes ELISA. Hasil rapid-test dapat diketahui kurang dari 45 menit. Cara ini baik untuk melakukan tes 1 – 100 spesimen sekaligus, menggunakan peralatan dan reagen yang sedikit, dapat dilakukan di sebuah klinik, tidak membutuhkan staf khusus, dan sangat mudah untuk membaca hasil tes.  
Jika ada keraguan terhadap hasil tes, sebaiknya putuskan situasi yang terburuk, yaitu dianggap hasil tes tersebut HIV positif.
Pencegahan penularan HIV di saat ibu hamil telah terinfeksi HIV ini merupakan inti dari intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Bentuk-bentuk intervensi tersebut adalah:
  • Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif;
  • Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela;
  • Pemberian obat antiretroviral;
  • Konseling tentang HIV dan makanan bayi; serta pemberian makanan bayi;
  • Persalinan yang aman.
Tiap-tiap jenis intervensi tersebut berbeda dalam hal biaya, dampak, maupun kemudahan menjalankannya. Kelima jenis intervensi tersebut akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi intervensi tersebut merupakan strategi yang paling efektif dewasa ini untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko penularan HIV ke bayi pada periode kehamilan, persalinan, dan pasca kelahiran.
Salah satu cara efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi adalah dengan mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif usia reproduktif. Hal yang dibutuhkan adalah layanan konseling dan tes HIV sukarela dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif.
Pemberian alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta konseling yang berkualitas akan membantu ibu HIV positif dalam melakukan seks yang aman, mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkannya, serta menghindari lahirnya anak-anak yang terinfeksi HIV. Ibu HIV positif mungkin cukup yakin untuk tidak ingin menambah jumlah anaknya karena khawatir bayinya tertular HIV dan menjadi yatim piatu di usia muda. Namun dengan adanya kemajuan intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, keputusan ibu HIV positif tersebut bisa terpengaruh. Sebagian dari mereka yakin untuk bisa punya anak yang tidak terinfeksi HIV. Konselor hanya bisa memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan, baik tentang kemungkinan terjadinya penularan, maupun peluang bayi untuk tidak terinfeksi HIV. Ibu HIV positif berhak menentukan keputusannya sendiri. Ibu HIV positif sebaiknya tidak dipaksa ataupun dinasehati untuk tidak menjadi hamil ataupun menghentikan kehamilannya (aborsi). Mereka harus mendapatkan informasi yang akurat tentang risiko penularan HIV ke bayi, sehingga mereka dapat membuat pemikiran sendiri setelah berkonsultasi dengan suami dan keluarganya.
Di Indonesia umumnya keinginan ibu untuk memiliki anak amat kuat, dan ibu akan kehilangan status sosialnya jika tidak mampu menjadi seorang ibu yang melahirkan anak. Jika kondisi fisik ibu HIV positif cukup baik, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebenarnya menjadi kecil. Artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif. Tetapi, ibu HIV positif yang memiliki banyak tanda penyakit dan gejala HIV akan lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Ibu ini perlu mendapatkan pelayanan konseling secara cermat untuk memastikan bahwa mereka benar-benar paham akan risiko tersebut dan telah berpikir bagaimana merawat si bayi jika mereka telah meninggal karena AIDS.
Jika ibu HIV positif tetap ingin memiliki anak, WHO mengajurkan jarak antar kelahiran minimal dua tahun. Untuk menunda kehamilan, alat kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom karena bersifat proteksi ganda, dapat mencegah penularan HIV dan IMS; meskipun angka keberhasilannya untuk mencegah kehamilan lebih rendah dibandingkan kontrasepsi oral ataupun implant. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim tidak diajurkan karena bisa menjalarkan infeksi ke atas sehingga mengakibatkan penyakit radang panggul. Ibu HIV positif yang memakai IUD cenderung mengalami perdarahan yang bisa meningkatkan risiko penularan HIV kepada orang lain.  Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormon jangka panjang seperti implant dan suntik bukan kontraindikasi pada ibu HIV positif. Sementara spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah terjadinya kehamilan maupun penularan HIV. Jika memutuskan tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Terdapat ibu HIV positif yang memanfaatkan efek menyusui bayi sebagai upaya untuk menunda kehamilan berikutnya (konstrasepsi laktasi). Namun, karena khawatir terjadinya penularan HIV ke bayi, ibu HIV positif tidak lagi menyusui bayinya. Untuk itu, diperlukan penggunaan alat kontrasepsi lain sebagai pengganti kontrasepsi laktasi.
Apapun cara kontrasepsi yang pilih untuk mencegah kehamilan, setiap berhubungan seks dengan pasangannya harus menggunakan kondom.
Beberapa aktivitas untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif antara lain:
  • Mengadakan KIE tentang HIV/AIDS dan praktek seks aman
  • Menjalankan konseling dan tes HIV sukarela untuk pasangan
  • Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS
  • Melakukan promosi kondom
  • Menganjurkan ibu HIV positif mengikuti keluarga berencana dengan cara yang tepat
  • Senantiasa menerapkan kewaspadaan universal
  • Membentuk dan menjalankan layanan rujukan
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduktif untuk tertular HIV. Strategi ini bisa juga dinamakan pencegahan primer (primary prevention). Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Artinya, mencegah perempuan muda di usia reproduktif, ibu hamil dan pasangannya agar tidak terinfeksi HIV. Dengan mencegah infeksi HIV pada perempuan usia reproduktif/ibu hamil, maka bisa dijamin pencegahan penularan HIV ke bayi.  
Untuk menghindari penularan HIV, pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat menggunakan konsep “ABCD”, yang artinya:
  • A (Abstinence), artinya Absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah;
  • B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti);
  • C (Condom), artinya Cegah penularan HIV dengan memakai kondom. Kondom harus dipakai oleh pasangan seks yang salah satu diantaranya telah diketahui terinfeksi HIV;
  • D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan pada Prong 1 (pencegahan primer) antara lain:
  • Menyebarluaskan informasi (KIE) tentang HIV/AIDS
  • Meningkatkan kesadaran perempuan tentang bagaimana cara menghindari penularan HIV dan IMS
  • Menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV secara sukarela
  • Meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan Odha perempuan
  • Menyediakan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang mampu laksana pada kasus HIV/AIDS
  • Mengadakan penyuluhan HIV/AIDS secara kelompok
  • Mempelajari tentang pengurangan risiko penularan HIV dan IMS (termasuk penggunaan kondom)
  • Bagaimana bernegosiasi seks aman (penggunaan kondom) dengan pasangan
  • Mobilisasi masyarakat
  • Melibatkan petugas lapangan (kader PKK, bidan dll) untuk memberikan informasi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan.
  • Konseling untuk perempuan HIV negatif
  • Ibu hamil yang hasilnya tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV   negatif
  • Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV

Layanan yang bersahabat untuk pria        
Membuat pelayanan kesehatan ibu dan anak yang bersahabat untuk pria sehingga mudah diakses oleh suami / pasangan ibu hamil.
Mengadakan kegiatan “kunjungan pasangan” pada kunjungan ke pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, akan membuat adanya dialog yang lebih terbuka antara suami dan istri/pasangannya tentang seks aman dan perilaku seksual.  Sebaiknya, materi penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi bagian dari pelatihan keterampilan hidup (life skill training) bagi remaja sehingga sejak dini mereka belajar tentang cara melindungi keluarga mereka kelak dari ancaman penularan HIV. Informasi tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi juga penting disampaikan kepada masyarakat luas untuk memperkuat dukungan kepada perempuan yang mengalami masalah seputar penularan HIV dari ibu ke bayi.
Dari kegiatan konseling dan tes HIV sukarela bagi ibu hamil di Jakarta (2004) diketahui bahwa beberapa ibu hamil tertular HIV melalui pasangannya yang pengguna narkoba suntikan. Dan telah dilahirkan pula bayi-bayi melalui pasangan tersebut.   
Upaya mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduktif menjadi sangat penting dilakukan:
  • selama kehamilan, terutama usia hamil tua;
  • selama persalinan;
  • selama masa menyusui;
Hal ini dikarenakan kadar HIV tertinggi di tubuh Odha berada pada minggu-minggu pertama setelah seseorang terinfeksi. Jumlah kadar HIV yang tinggi akan meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Oleh karenanya risiko penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi lebih besar jika ibu terinfeksi HIV selama kehamilan ataupun masa menyusui. Seperti keterangan Diagram 1, kadar HIV kembali akan meninggi pada masa stadium AIDS yang berarti juga meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan seorang perempuan terinfeksi HIV ketika ia sedang hamil ataupun menyusui. Di masa-masa akhir kehamilan dan setelah melahirkan, kemungkinan seorang lelaki tidak melakukan hubungan seks dengan istrinya. Pada masa ini, ada kemungkinan ia melakukan hubungan seks tak aman dengan perempuan lain. Jika ia terinfeksi HIV, ia akan segera memiliki jumlah kadar HIV yang tinggi di darahnya. Dalam kondisi tersebut, ia akan sangat berpotensi menularkan HIV jika sesekali berhubungan seksual dengan istrinya yang sedang hamil ataupun menyusui.
Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk menghindari penularan HIV pada perempuan selama masa kehamilan dan menyusui, antara lain:
Memberikan informasi kepada suami bahwa jika ia melakukan seks tak aman akan bisa membawa kematian bagi calon bayinya, termasuk istrinya dan dirinya sendiri. Para suami biasanya memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi keluarganya. Informasi ini akan lebih efektif diterima suami jika disampaikan oleh petugas kesehatan di klinik kesehatan ibu dan anak ketika ia mengantarkan istrinya. 
Ketika ibu melahirkan bayinya di rumah sakit ataupun klinik, biasanya ia diantar oleh suaminya. Pada saat itu, perasaan suami sangat bangga dan mencintai istri dan anaknya. Saat itu akan efektif untuk menyampaikan informasi kepada suami untuk menghindari perilaku seks tak aman dan pemakaian kondom. 
Menurut WHO, terdapat 4 (empat) prong yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi. Empat prong tersebut adalah:
  • Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
  • Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
  • Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya.
  • Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya. Prong keempat merupakan upaya lanjutan dari tiga prong sebelumnya.